Pengertian Kesehatan Bank
Kesehatan Bank dapat diartikan
sebagai : kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan
secara normal & mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dan sesuai
dengan peraturan perbankan yang berlaku. Pengertian tentang kesehatan bak
tersebut suatu batasan yang sangat luasx
Kemampuan suatu bank untuk
melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal.
- Mampu memenuhi semua kewajiban dengan
baik sesuai dengan peraturan perbankan.
Kegiatannya meliputi:
1. Kemampuan menghimpun dana dari
masyarakat, dari lembaga lain dan dari modal sendiri.
2. Kemampuan mengelola dana.
3. Kemampuan menyalurkan dana
kemasyarakatan.
4. Kemampuan memenuhi kewajiban kepada
masyarakat, karyawan, pemilik modal dan pihak lain.
5. Pemenuhan peraturan perbankan yang
berlaku.
Aturan Kesehatan Bank
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7
Tahun 1992 tentang Perbankan, pembinaan dan pengawasan Bank dilakukan oleh Bank
Indonesia. Undang-undang tersebut lebih lanjut menetapkan bahwa :
a. Bank
wajib memelihara tingkat kesehatan Bank sesuai dengan ketentuan kecukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
b. Dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan
kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank
dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
c. Bank
wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan dan penjelasan
mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d. Bank
atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan
buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan
yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,
dokumen, dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
e. Bank
Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun
setiap waktu apabila diperlukan. Bank Indonesia dapat menugaskan akuntan publik
untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap bank.
f. Bank
wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca, perhitungan laba rugi tahunan
dan penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang
ditetapkan Bank Indonesia. Neraca, dan perhitungan laba rugi tahunan tersebut
wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
g. Bank
wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam waktu dan bentuk yang
telah ditetapkan oleh Bnak Indonesia.
Menyadari arti pentingnya kesehatan
suatu bank bagi pembentukan kepercayaan dlam dunia perbankan serta untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam dunia perbankan,
maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menerapkan aturan tentang kesehatan
bank. Dengan adanya aturan tentang kesehatan bank ini, perbankan selalu dalam
kondisi sehat, sehingga tidak akan merugikan masyarakat yang berhubungan dengan
perbankan. Bank yang beroperasi dan berhubungan dengan masyarakat diharapkan
hanya bank yang betul-betul sehat. Aturan kesehatan bank yang telah ditetapkan
oleh Bank Indonesia mencangkup berbagai aspek dalam kegiatan bank, mulai dari
penghimpuanan dana sampai dengan penggunaan dan penyaluran dana.
Namun pada tahun 2011 peraturan
tersebut diubah, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/1/PBI/2011
Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Bank wajib melakukan penilaian
sendiri (self assessment) atas Tingkat Kesehatan Bank. Penilaian sendiri
(self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dilakukan paling kurang setiap
semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. Bank wajib melakukan
pengkinian self assesment Tingkat Kesehatan Bank sewaktu-waktu apabila
diperlukan. Hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank yang telah
mendapat persetujuan dari Direksi wajib disampaikan kepada Dewan Komisaris.
Bank wajib menyampaikan hasil self assessment Tingkat Kesehatan Bank
kepada Bank Indonesia sebagai berikut:
a.
untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank
secara individual, paling lambat pada tanggal 31 Juli untuk penilaian Tingkat
Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari untuk penilaian
Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember; dan
b.
untuk penilaian Tingkat Kesehatan Bank
secara konsolidasi, paling lambat pada tanggal 15 Agustus untuk penilaian
Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk
penilaian Tingkat Kesehatan Bank posisi akhir bulan Desember.
Bank
Indonesia melakukan penilaian Tingkat Kesehatan Bank setiap semester untuk
posisi akhir bulan Juni dan Desember. Bank Indonesia melakukan pengkinian
penilaian Tingkat Kesehatan Bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dan pengkinian penilaian
Tingkat Kesehatan Bank dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala
yang disampaikan Bank, dan/atau informasi lain.
Dalam
rangka pengawasan Bank, apabila terdapat perbedaan hasil penilaian Tingkat
Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan hasil self
assesment penilaian Tingkat Kesehatan Bank maka yang berlaku adalah hasil
penilaian Tingkat Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia.
Penilaian Kesehatan Bank (RGEC):
Risk Profile
Per
Januari 2012 seluruh Bank Umum di Indonesia sudah harus menggunakan pedoman
penilaian tingkat kesehatan bank yang terbaru berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum,
yang mewajibkan Bank Umum. Tatacara terbaru tersebut, kita sebut saja sebagai
Metode RGEC, yaitu singkatan dari Risk Profile, Good Corporate Governance,
Earning, dan Capital.
Pedoman
perhitungan selengkapnya diatur dalam Surat Edaran (SE) Bank Indonesia
No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum tersebut merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
No.13/1/PBI/2011, yang mewajibkan Bank Umum untuk melakukan penilaian sendiri
(self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan Risiko
(Risk-based Bank Rating/RBBR) baik secara individual maupun secara konsolidasi.
Prinsip Umum Penilaian
Mengacu
ke Surat Edaran tersebut,
prinsip-prinsip umum penilaian tingkat kesehatan bank umum yang menjadi landasan dalam menilai
Tingkat Kesehatan Bank adalah sebagai berikut:
1.
Berorientasi Risiko
Penilaian
tingkat kesehatan didasarkan pada Risiko-Risiko Bank dan dampak yang ditimbulkan pada kinerja Bank
secara keseluruhan. Hal ini dilakukan
dengan cara mengidentifikasi faktor
internal maupun eksternal
yang dapat meningkatkan
Risiko atau mempengaruhi
kinerja keuangan Bank pada saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan demikian, Bank diharapkan mampu
mendeteksi secara lebih dini akar
permasalahan Bank serta
mengambil langkah-langkah pencegahan dan perbaikan secara efektif dan
efisien.
2.
Proporsionalitas
Penggunaan
parameter/indikator dalam tiap faktor
penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dilakukan dengan memperhatikan
karakteristik dan
kompleksitas usaha Bank.
Parameter/indikator
penilaian Tingkat Kesehatan Bank
dalam Surat Edaran
ini merupakan standar minimum yang
wajib digunakan dalam
menilai Tingkat Kesehatan Bank. Namun
demikian, Bank dapat
menggunakan parameter/indikator
tambahan yang sesuai
dengan karakteristik dan
kompleksitas usahanya dalam
menilai Tingkat Kesehatan
Bank sehingga dapat mencerminkan
kondisi Bank dengan lebih baik.
3.
Materialitas dan Signifikansi
Bank perlu
memperhatikan materialitas atau
signifikansi factor
penilaian Tingkat Kesehatan
Bank yaitu Profil
Risiko, GCG, Rentabilitas,
dan Permodalan serta
signifikansi
parameter/indikator
penilaian pada masing-masing
faktor dalam menyimpulkan
hasil penilaian dan
menetapkan peringkat faktor.
Penentuan materialitasdan signifikansi
tersebut didasarkan pada
analisis yang didukung
oleh data dan informasi yang memadai
mengenai Risiko dan kinerja
keuangan Bank.
4.
Komprehensif dan Terstruktur
Proses penilaian
dilakukan secara menyeluruh
dan sistematis serta difokuskan pada
permasalahan utama Bank.
Analisis dilakukan secara terintegrasi,
yaitu dengan mempertimbangkan keterkaitan
antar Risiko dan antar faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank serta
perusahaan anak yang
wajib dikonsolidasikan. Analisis
harus didukung oleh fakta-fakta
pokok dan rasio-rasio yang relevan untuk
menunjukkan tingkat, trend, dan tingkat permasalahan yang dihadapi oleh Bank.
Penilaian Tingkat
Kesehatan Bank secara
individual mencakup
penilaian terhadap faktor-faktor
berikut: Profil Risiko,
GCG, Rentabilitas, dan Permodalan. Sekarang saya akan mencermati
komponen pertama dari penilaian kesehatan bank
terbaru dengan metode RGEC, yang mengacu ke Surat Edaran (SE) Bank Indonesia
No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum.
Penilaian faktor
Profil Risiko merupakan
penilaian terhadap Risiko inheren
dan kualitas penerapan Manajemen Risiko dalam
aktivitas operasional Bank. Risiko yang wajib dinilai terdiri atas 8 (delapan) jenis Risiko yaitu Risiko Kredit,
Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko
Likuiditas, Risiko Hukum,
Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan,
dan Risiko Reputasi.
Dalam menilai
Profil Risiko, Bank
wajib pula memperhatikan cakupan penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana
diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai
Penerapan Manajemen Risiko bagi
Bank Umum.
Penilaian Risiko Inheren
Penilaian Risiko
inheren merupakan penilaian
atas Risiko yang melekat
pada kegiatan bisnis
Bank, baik yang
dapat dikuantifikasikan maupun
yang tidak, yang
berpotensi mempengaruhi posisi keuangan
Bank. Karakteristik Risiko
inheren Bank ditentukan
oleh faktor internal
maupun eksternal, antara
lain strategi bisnis,
karakteristik bisnis, kompleksitas
produk dan aktivitas
Bank, industri dimana
Bank melakukan kegiatan
usaha, serta kondisi
makro ekonomi.
Penilaian atas
Risiko inheren dilakukan
dengan memperhatikan parameter/indikator yang
bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penetapan
tingkat Risiko inheren
atas masing-masing jenis
Risiko mengacu pada
prinsip-prinsip umum penilaian
Tingkat Kesehatan Bank
Umum. Penetapan tingkat
Risiko inheren untuk
masing-masing jenis Risiko
dikategorikan ke dalam
peringkat 1 (low),
peringkat 2 (low
to moderate), peringkat 3
(moderate), peringkat 4
(moderate to high),
dan peringkat 5 (high).
a)
Risiko Kredit
Risiko Kredit
adalah Risiko akibat
kegagalan debitur dan/atau
pihak lain dalam
memenuhi kewajiban kepada
Bank. Dalam menilai Risiko
inheren atas Risiko
Kredit, parameter/indikator yang
digunakan adalah: (i) komposisi
portofolio aset dan
tingkat konsentrasi; (ii)
kualitas penyediaan dana
dan kecukupan pencadangan;
(iii) strategi penyediaan
dana dan sumber
timbulnya penyediaan dana; dan (iv) faktor eksternal.
b)
Risiko Pasar
Risiko Pasar
adalah Risiko pada
posisi neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan dari kondisi pasar, termasuk Risiko
perubahan harga option.
Risiko Pasar meliputi
antara lain Risiko
suku bunga, Risiko nilai tukar, Risiko ekuitas, dan Risiko komoditas.
Dalam menilai Risiko
inheren atas Risiko
Pasar, parameter/indikator yang
digunakan adalah: (i)
volume dan komposisi
portofolio, (ii) kerugian
potensial (potential loss)
Risiko Suku Bunga
dalam Banking Book
(Interest Rate Risk
in Banking Book-IRRBB)
dan (iii) strategi dan kebijakan
bisnis.
c) Risiko Likuiditas
adalah
Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk
memenuhi kewajiban yang
jatuh tempo dari
sumber pendanaan arus
kas, dan/atau dari
aset likuid berkualitas
tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan
Bank. Risiko ini disebut
juga Risiko likuiditas
pendanaan (funding liquidity risk). Dalam menilai
Risiko inheren atas
Risiko Likuiditas, parameter yang digunakan adalah: (i)
komposisi dari aset, kewajiban, dan transaksi
rekening administratif; (ii) konsentrasi dari aset dan kewajiban;
(iii) kerentanan pada kebutuhan
pendanaan; dan (iv) akses pada sumber-sumber
pendanaan.
d)
Risiko Operasional
Risiko Operasional
adalah Risiko akibat
ketidakcukupan dan/atau
tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan/atau
adanya kejadian eksternal
yang mempengaruhi operasional
Bank. Dalam menilai
Risiko inheren atas
Risiko Operasional, parameter/indikator yang
digunakan adalah: (i)
karakteristik dan kompleksitas
bisnis; (ii) sumber
daya manusia; (iii)
teknologi informasi dan
infrastruktur pendukung; (iv)
fraud, baik internal
maupun eksternal, dan (v) kejadian eksternal.
e)
Risiko Hukum
Risiko
Hukum adalah Risiko yang timbul akibat
tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko ini juga dapat
timbul antara lain
karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendasari atau kelemahan
perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau agunan yang tidak memadai. Dalam
menilai Risiko inheren
atas Risiko Hukum,
parameter/indikator yang digunakan
adalah: (i) faktor litigasi; (ii) faktor kelemahan perikatan; dan
(iii) faktor ketiadaan/perubahan peraturan
perundang-undangan.
f)
Risiko Stratejik
Risiko
Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan Bank dalam mengambil
keputusan dan/atau pelaksanaan
suatu keputusan stratejik
serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. Dalam
menilai Risiko inheren
atas Risiko Stratejik,
parameter/indikator yang digunakan
adalah: (i) kesesuaian strategi bisnis Bank dengan
lingkungan bisnis; (ii) strategi berisiko rendah dan berisiko tinggi; (iii)
posisi bisnis Bank; dan (iv) pencapaian
rencana bisnis Bank.
g)
Risiko Kepatuhan
Risiko
Kepatuhan adalah Risiko yang timbul akibat Bank
tidak mematuhi dan/atau
tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Sumber Risiko
Kepatuhan antara lain
timbul karena kurangnya
pemahaman atau kesadaran
hukum terhadap ketentuan
maupun standar bisnis yang berlaku umum.
Dalam menilai Risiko
inheren atas Risiko
Kepatuhan,
parameter/indikator yang digunakan
adalah: (i) jenis
dan signifikansi pelanggaran
yang dilakukan, (ii)
frekuensi pelanggaran yang
dilakukan atau track
record ketidakpatuhan Bank,
dan (iii) pelanggaran
terhadap ketentuan atau
standar bisnis yang
berlaku umum untuk
transaksi keuangan tertentu.
h)
Risiko Reputasi
Risiko
Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
stakeholder yang bersumber
dari persepsi negatif
terhadap Bank. Dalam
menilai Risiko inheren
atas Risiko Reputasi, parameter/indikator yang digunakan
adalah: (i) pengaruh
reputasi negatif dari pemilik Bank dan perusahaan terkait; (ii)
pelanggaran etika bisnis;
(iii) kompleksitas produk
dan kerjasama bisnis
Bank; (iv) frekuensi,
materialitas, dan eksposur
pemberitaan negatif Bank; dan (v) frekuensi
dan materialitas keluhan nasabah.
Penilaian Kualitas Penerapan
Manajemen Risiko
Penilaian kualitas
penerapan Manajemen Risiko
mencerminkan penilaian terhadap
kecukupan sistem pengendalian Risiko yang mencakup seluruh pilar penerapan Manajemen Risiko sebagaimana
diatur dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi Bank
Umum. Penilaian kualitas
penerapan Manajemen Risiko
bertujuan untuk mengevaluasi
efektivitas penerapan Manajemen
Risiko Bank sesuai
prinsip-prinsip yang diatur
dalam ketentuan Bank
Indonesia mengenai penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum.
Penerapan Manajemen
Risiko Bank sangat
bervariasi menurut skala,
kompleksitas, dan tingkat
Risiko yang dapat
ditoleransi oleh Bank.
Dengan demikian, dalam
menilai kualitas penerapan
Manajemen Risiko perlu
diperhatikan karakteristik dan
kompleksitas usaha Bank. Penilaian kualitas
penerapan Manajemen Risiko
merupakan penilaian terhadap 4 (empat) aspek yang saling terkait yaitu:
a). Tata Kelola
Risiko
Tata kelola
Risiko mencakup evaluasi
terhadap: (i) perumusan
tingkat Risiko yang
akan diambil (risk
appetite) dan toleransi
Risiko (risk tolerance);
dan (ii) kecukupan pengawasan
aktif oleh Dewan Komisaris dan Direksi
termasuk pelaksanaan kewenangan dan tanggung
jawab Dewan Komisaris dan Direksi.
b)
Kerangka Manajemen Risiko
Kerangka Manajemen
Risiko mencakup evaluasi
terhadap: (i) strategi
Manajemen Risiko yang
searah dengan tingkat
Risiko yang akan
diambil dan toleransi
Risiko; (ii) kecukupan
perangkat organisasi dalam
mendukung terlaksananya Manajemen
Risiko secara efektif
termasuk kejelasan wewenang
dan tanggung jawab;
dan (iii) kecukupan
kebijakan, prosedur dan
penetapan limit.
c)
Proses Manajemen Risiko, kecukupan sumber daya manusia, dan
kecukupan sistem informasi
manajemen
Proses Manajemen
Risiko, kecukupan Sumber
Daya Manusia, dan
kecukupan sistem informasi
Manajemen Risiko mencakup
evaluasi terhadap: (i)
proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian
Risiko; (ii) kecukupan
sistem informasi Manajemen
Risiko; dan (iii) kecukupan kuantitas dan kualitas sumber daya
manusia dalam mendukung
efektivitas proses Manajemen Risiko.
d) Kecukupan sistem
pengendalian Risiko, dengan
memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank
Kecukupan sistem
pengendalian Risiko mencakup
evaluasi terhadap: (i)
kecukupan Sistem Pengendalian
Intern dan (ii)
kecukupan kaji ulang
oleh pihak independen
(independent review) dalam
Bank baik oleh
Satuan Kerja Manajemen
Risiko (SKMR) maupun
oleh Satuan Kerja
Audit Intern (SKAI).
Kaji ulang oleh
SKMR antara lain
mencakup metode, asumsi,
dan variabel yang
digunakan untuk mengukur
dan menetapkan limit
Risiko, sedangkan kaji
ulang oleh SKAI
antara lain mencakup
keandalan kerangka Manajemen Risiko
dan penerapan Manajemen
Risiko oleh unit bisnis dan/atau unit pendukung.
2.3
Pelanggaran Aturan Kesehatan Bank
Apabila
terdapat penyimpangan terhadap aturan tentang kesehatan bank, Bank Indonesia
dapat mengambil tndakan-tindakan tertentu dengan tujuan dasar agar bank yang
bersangkutan menjadi sehat dan tidak membahayakan kinerja perbankan secara
umum. Berdasrkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam hal suatu bank
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia
dapat melakukan tindakan agar :
a.
Pemegang saham menambah modal
b.
Pemegang saham mengganti dewan komisaris
dan atau dewan direksi bank
c.
Bank menghapus bukukan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet, dan memperhitungkan kerugian
bank dengan modalnya
d.
Bank melakukan merger atau konsolidasi
dengan bank lain
e.
Bank dijual kepada pembeli yang bersedia
mengambila alih seluruh kewajiban
f.
Bank menyerahkan pengelolaan seluruh
atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain
g.
Bank menjual sebagian atau seluruh harta
dan kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
Apabila tindakan sebagaimana
dimaksud diatas belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank, dan
atau menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan
sistem perbankan, maka Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank
dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum
Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
Apabila direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham, maka
Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan
yang berisi pembubaran badan hukum bank tersebut, penunjukkan tim likuidasi,
dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Apabila menurut penilaian Bank
Indonesia terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perokonomian nasional,
atas permintaan Bank Indonesia, pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Badan khusus tersebut melakukan
program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan kepada
Bank Indonesia kepada badan dimaksud. Dalam melaksanakan program penyehatan
terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud diatas mempunyai wewenang
yaitu :
a.
Mengambil alih dan menjalankan segala
hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang
Saham
b.
Mengambil alih dan melaksanakan hak dan
wewenang direksi dan komisaris bank
c.
Menguasai, mengelola, dan melakukan
tindakan kepemilikan atas kekeayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk
kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik didalam maupun di luas
negeri
d.
Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri
dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut
pertimbangan badan khusus merugikan bank
e.
Menjual atau mengalihkan kekayaan bank,
direksi, komisaris, dan pemegang saham tertentu, didalam negeri maupun diluar
negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum
f.
Menjual atau mengalihkan tagihan bank
dan atau menyerahkan pengelolannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan
persetujuan nasabah debitor
g.
Mengalihkan pengelolaan kekayaan dan
atau manajemen bankkepada pihak lain
h.
Melakukan penyertaan modal sementara
pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus
menjadi penyertaan modal pada bank
i.
Melakukan penagihan piutang bank yang
sudah pasti dengan penerbitan surat paksa
j.
Melakukan pengosongan atas tanah dan
atau bangunan milik dan atau yang menjadi hak bank yang dikuasai pihak lain,
baik sendiri ataupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang
k.
Melakukan penelitian dan pemeriksaan,
untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam
program penyehatan, dan pihak manapun yang terliabat atau patut diduga
terlibat, atau mengakui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan
tersebut
l.
Menghitung dan menetapkan kerugian yang
dialami bank dalam progaram penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada
modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena
kesalahan atau kelalaian direksi, komisaris, dan atau pemegang saham maka
kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan.
m.
Menetapkan jumlah tambahan modal wajib
disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan
n.
Melakukan tindakan lain yang diperlukan
untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai
dengan huruf m
Atas permintaan badan khusus, bank
dan program penyehatan dan pihak-pihak yang berkaitan wajibmemberikan segala
keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi
pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan
yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen dan penjelasan yang
diperoleh bank dimaksud. Badan khusus tersebut wajib menyampaikan laporan
kegiatan kepada Menteri Keuangan. Apabila menurut penilaian pemerintah, badan
khusus telah melakukan tugasnya, pemerintah menyatakan berahirnya badan khusus
tersebut. Ketentuanyang diperlukan bagi pelaksanaan pasal ini,diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Disamping tindakan-tindakan diatas, bank
yang melanggar aturan kesehatan bank dapat dikenakan sanksi administratif dan
sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Pengertian dan tujuan penerapan rahasia bank
a.
Rahasia Bank
Definisi
Rahasia Bank
Menurut
Munir Fuady rahasia bank adalah :
“Hubungan antara
nasabah dan banknya mirip dengan hubungan antara lawyer dan kliennya atau
hubungan antara dokter dan pasiennya. Semuanya sama-sama mengandung kewajiban
untuk merahasiakan data dari klien/nasabah/pasiennya. Sering juga untuk rahasia
yang terbit dari hubungan seperti ini disebut dengan istilah rahasia jabatan”
(Munir Fuady, Op.Cit. hal.88.)
Menurut
Kasmir rahasia bank adalah :
“Dikarenakan
kegiatan dunia perbankan mengelola uang masyarakat, maka bank wajib menjaga
kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bank wajib menjaga keamanan uang
tersebut agar benar-benar aman. Agar keamanan uang nasabahnya terjamin, pihak
perbankan dilarang untuk memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang
keadaan keuangan dan hal -hal lain dari nasabahnya. Dengan kata lain, bank
harus menjaga rahasia tentang keadaan keuangan nasabah dan apabila melanggar
kerahasiaan ini perbankan akan dikenakan sanksi” (Kasmir, Bank dan Lembaga
Keuangan Lainnya, Jakarta : Raja Grafindo persada, 2008, hal. 57)
Pada dasarnya
setiap orang baik sebagai pribadi maupun sebagai usahawan tidak menginginkan
mengenai keadaan pribadinya termasuk keadaan dasarnya termasuk keadaan
keuangannya diketahui oleh orang lain. Tiap kepentingan dari setiap orang itu
harus mendapat perhatian dan harus dihormati sepenuhnya oleh siapapun juga
termasuk negara, untuk itu jika perlu dilindungi dengan hukum pidana yaitu
sejauh kepentingan itu secara langsung ataupun tidak langsung juga mempunyai
arti bagi masyarakat/negara.
Rahasia bank
tidak boleh dijadikan alat untuk melindungi pelaku kejahatan. Ketentuan rahasia
bank seharusnya tidak boleh dipegang secara absolut, informasi tentang data
bank harus lentur serta mengingat kepentingan yang lebih besar artinya
keterbukaan akan informasi dapat jalan asalkan untuk kepentingan masyarakat.
Jadi keterbukaan informasi dapat didahulukan dibandingkan tetap mempertahankan
kerahasiaan bak sehingga melindungi pelaku kejahatan.
Persoalan
rahasia bank seringkali menjadi pembicaraan yang menarik bagi para ahli hukum, para
praktisi dan bahkan bagi kalangan anggota Fewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menariknya persoalan rahasia bank tersebut mengingat di satu segi masyarakat
ingin mengetahui tentang kondisi keuangan suatu debitur yang berada di suatu
bank, apakah sehat atau tidak, bermasalah atau tidak. Tetapi di lain pihak bank
terbentur oleh aturan hukum yang menyangkut rahasia bank. (Zainal Asikin,
Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada 1996,
hal.51)
Pasal 1 Angka 28
Undang-Undang No.10 Tahun 1998 menyatakan bahwa pengertian rahasia bank adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan nasabah penyimpan dan
simpanannya. Sedangkan dalam pasal 1 angka 16 Undang-Undang No.7 Tahun 1992
yang meyebutkan bahwa rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia
perbankan wajib dirahasiakan.
Ringkasnya,
bahwa Undang-Undang No.7 Tahun 1992 menyangkut kerahasiaan bank yang luas baik
menyangkut objek maupun kedudukan nasabahnya, sebab yang dilindungi rahasia
bank bukan hanya keterangan dan keadaan keuangan nasabah penyimpan dana dan
simpanannya, melainkan juga keterangan keuangan nasabah debitur atau
pinjamannya. Sedangkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 membatasi atau
mempersempit hal-hal yang wajib dirahasiakan oleh bank, yakni sebatas pada
keterangan dan keadaan keuangan nasabah penyimpan dan simpanannya. Sehingga
keterangan dan keadaan keuangan nasabah selain sebagai nasabah penyimpana bukan
merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh bank.
Bentuk dari
perwujudan gagasan untuk meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap institusi
perbankansangat diperlukan. Oleh sebab itu, pembentuk undang-undang telah
melakukan pembaharuan dam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 terhadap ketentuan
mengenai rahasia bank. Pembaharuan itu meliputi pengertian dan objek rahasia
bank, pengalihan kewenangan pemberian perintah dan izin pengecualian, serta
memperberat ancaman pidana dan penambahan delik rahasia bank.
(http://omperi.wikidot.com/pengaturan 23 http://omperi.wikidot.com/pengaturan rahasia
bank, diakses pada tanggal 10 Januari 2012.)
Untuk melindungi
suatu informasi dikenal adanya hukum kerahasiaan. Hukum kerahasiaan adalah
hukum yang berisikan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan perlindungan rahasia
baik yang menyangkut rahasia perdagangan, rahasia yang sifatnya pribadi atau
rahasia pemerintahan. (Ibid.)
Informasi
mengenai kegiatan bank terutama hubungannya antara nasabah dengan bank
merupakan bagian dari rahasia bank dan itu adalah salah satu bagian yang
dilindungi hukum kerahasiaan. Dengan demikian bila terjadi pembocoran atau
pembukaan informasi serta melawan hukum atau menyalahgunakan informasi tersebut
maka ketentuan hukum dapat dikenakan kepada si pelaku pembocoran atau
penyalahgunaan informasi tersebut.
b. Tujuan penerapan
rahasia bank
Dasar dari
kegiatan perbankan adalah kepercayaan. Tanpa adanya kepercayaan dari masyarakat
terhadap perbankan dan juga sebaliknya maka kegiatan perbankan tidak akan dapat
berjalan dengan baik. Ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank.
Faktor-faktor
tersebut adalah:
1. Integritas
pengurus
2. Pengetahuan
dan Kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial maupun pengetahuan
dan kemampuan teknis perbankan
3. Kesehatan
bank yang bersangkutan
4. Kepatuhan
bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, salah satu faktor untuk dapat memelihara dan meningkatkan
kadar kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank pada khususnya dan perbankan
pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Maksudnya
adalah menyangkut "dapat atau tidaknya bank dipercaya oleh nasabah yang
menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak mengungkapkan simpanan nasabah
identitas nasabah tersebut kepada pihak lain". Dengan kata lain,
tergantung kepada kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi dan mematuhi
dengan teguh "rahasia bank". Data nasabah yang berada di bank, baik
data keuangan maupun non keuangan, seringkali merupakan suatu data yang ingin
diketahui oleh pihak lain. Jumlah kekayaan yang tersimpan di bank bagi nasabah
tertentu merupakan sesuatu yang perlu dirahasiakan dari orang lain. Biodata
bagi nasabah tertentu merupakan data yang harus dirahasiakan. Sebagian nasabah
juga menginginkan agar pinjamannnya dari bank dirahasiakan kepada orang lain.
Bila kerahasiaan data nasabah tidak dapat dijamin oleh bank, maka nasabah akan
merasa enggan untuk berhubungan dengan bank. Dalam usaha mewujudkan terjaminnya
rahasia tertentu dari nasabah yang berada di bank, maka ketentuan tentang
rahasia bank dicantumkan dalam undang-undang perbankan.
Dasar Hukum Implementasi Rahasia Bank
Undang-undang no
7 tahun 1992 tentang perbankan telah mencantumkan aturan tentang rahasia bank
dalam bab 1 pasal 1 butir 16 dan bab VII pasal 40, 41, 42,43,44,45 dan bab VII
pasal 47. Definisi rahasia bank adalah “
segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah
bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan”.
Definisi tersebut merupakan
suatu batasan yang sangat luas dan cenderung kurang jelas mengenai rahasai
bank. Pembatasan didasarkan pada istilah “menurut kelaziman dunia perbankan”
sehingga batasannya sangat tergantunga pada interpretasi dari istilah
“kelaziman”. Interpretasi satu orang dengan orang lain mungkin berbeda. Secara
umum batasan tersebut juga dapat diartikan bahwa rahasia bank mencakup data
milik nasabah deposan maupun nasabah debitor.
Perkembangan dunia perbankan
sejak ditetapkannnya undang-undang no7 tahun 1992 sampai dengan tahun 1998
menunjukkan bahwa bank sering kali mengalami kesulitan untuk menyelesaikan kredit
bermasalah karena terbentur aturan tentang rahasia bank. Berdasarkan
pertimbangan tersebut dan untuk memberikan batasan yang lebih jelas terhadap
rahasia bank, maka undang-undang diperbaharui dengan undang-undang nomor 10
tahun 1998.
Aturan mengenai rahasia bank
ini kemudian di ubah seperti tercantum dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas undang-undang no 7 tahun 1992. Mengubah pengertian
rahasia bank dalam pasal 1 butir 1 menjadi: “segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya”.
Undang-undang ini membatasi
rahasia bank hanya pada nasabah deposan atau penyimpan dana. Perubahan ini
membawa 2 (dua) macam konsekuensi. Pertama, perubahan tersebut menyebabkan
peningkatan posisi bank dalam berhubungan dengan debitornya, karena data
nasabah peminjam dana tidak termasuk dalam pengertian rahasia bank. Manfaat ini
akan dirasakan oleh bank terutama untuk menyelesaikan kredit-kredit bermasalah.
Kedua, perubahan ini sedikit banyak akan menurunkan motivasi calon debitor
untuk memperoleh bantuan dana pinjaman dari bank, karena kerahasiaan datanya
tidak termasuk dalam pengertian rahasia bank. Di samping dua konsekuensi
tersebut, masih terdapat satu permasalahan yang akan muncul pada saat penentuan
suatu data termasuk rahasia bank atau bukan. Nasabah debitor biasanya juga
sekaligus sebagai nasabah penyimpan dana, sehingga penentuan suatu data nasabah
tergolong data nasabah penyimpan atau nasabah peminjam merupakan sesuatu yang
tidak mudah. Masalah tersbut sebenarnya ssudah berusaha diantisipasi melalui
penjelasan pasal 40 undang-undang Nomor 10 tahun 1998.
Penjelasan pasal 40
undang-undang Nomor 10 tahun 1998. Penjelasan pasal 40 adalah “ apabila nasabah bank adalah nasabah
penyimpan yang sekaligus juga sebagai nasabah debitor, bank wajib tetap
merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah
penyimpan. Keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan
merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank.
Secara lebih
rinci Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 dan undang-undang Nomor 10 tahun 1998
mengatur rahasia bank sebagai berikut:
a. Rahasia bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
b. Bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpananannya.
c. Ketentuan tresebut berlaku pula bagi
pihak terafiliasi
d. Pihak terafiliasi adalah:
· 1. Anggota dewan komisaris, pengawas, direksi,
atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank.
· 2. Anggota pengurus, pengawas,
pengelola, atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank yang
berbentuk hukum koperasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
3. Pihak yang memberikan
jasanya kepada bank, antara lain, akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan
konsultan lainnya.
· 4. Pihak yang menurut penilaian BI
turut mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain, pemegang saham dan keluarganya,
keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
Pengecualian terhadap rahasia bank dan sanksi administrative
a. Pengecualian terhadap rahasia
bank
Secara umum
kerahasiaan berkaitan dengan kepercayaan,karena itu pula rahasia bank
diperlukan sebagai salah satu faktor untuk menjaga kepercayaan nasabah
penyimpan. Mengingat kerahasiaan bank tersebut utamaannya untuk menjaga
kepercayaan nasabah penyimpan sehingga tidak berlebihan apabila Bank Indonesia
dalam pengaturan rahasia bank,menentukan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2
ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Pemberian Perintah Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank,bahwa
keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan bukan merupakan keterangan
yang wajib dirahasiakan oleh bank.
Selain itu
didalam Undang – Undang Perbankan Indonesia dalam pengaturan kerahasian bank
tidak secara mutlak untuk menutupi informasi dan data yang ada untuk kalangan
pihak tertentu. Dari ketentuan larangan pembukaan rahasia bank menurut
ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan tersebut dapat dikecualikan beberapa kondisi tertentu. Dengan
demikian Indonesia menganut teori nisbi,yaitu bahwa pemberian data dan
informasi yang menyangkut kerahasian bank kepada pihak lain dimungkinkan dengan
alasan tertentu. Tetapi mengenai pihak yang harus menyimpan rahasia karena
profesi dan pekerjaannya hampir sama ketentuannya dengan Swiss yaitu menyangkut
semua pihak yang berhubungan dengan kegiatan bank. Kata ” kecuali” dalam pasal
40 ayat (1) ini merupakan pembatasan terhadap berlakunya rahasia bank. Mengenai
keterangan yang disebutkan dalam pasal – pasal yang dikecualikan itu,bank boleh
mengungkapkannya ( tidak
Mengenai kemungkinan perobosan
kerahasiaan bank dapat dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1)
Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah :
1. Untuk kepentingan peradilan
pidana
2. Untuk kepentingan tukar menukar
informasi antar bank dirahasiakannya).
3. Untuk kepentingan piutang bank
1.Kepentingan
Perpajakan
Untuk kepentingan
perpajakan,penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara dan kepentingan peradilan dalam perkara pidana,wajib
terlebih dahulu memperoleh perintah atau ijin tertulis untuk membuka rahasia bank
dari Pimpinan Bank Indonesia,sedangkan untuk kepentingan peradilan dalam
perkara perdata antara bank dengan nasabahnya,tukar menukar informasi antar
bank,permintaan,persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat
secara tertulis,permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang
telah meninggal dunia,tidak memerlukan perintah atau ijin tertulis untuk
membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia.
2.
Penyelesaian piutang bank yang diserahkan ke BUPLN atau PUPN
Pimpinan Bank Indonesia memberikan
izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ panitia Urusan
Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah
debitor, dan pihak bank wajib memberikan keterangan yang diminta. Izin
sebagaimana dimaksud di atas diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Ketua Panitia Urusan
Piutang Negara. Permintaan tertulis tersebut di atas harus menyebutkan nama dan
jabatan pejabat Badan Urusan piutang dan Lelang negara/ Panitia Urusan Piutang
Negara, nama nasabah debitor yang bersangkutan, dan alasan diperlukanya
keterangan.
3.
Kepentingan peradilan dalam perkara pidana
Pimpinan Bank Indonesia dapat
memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan
dari bank mengenai simoanan tersangka atau terdakwa pada bank, dan pihak bank
wajib memberikan keterangan yang diminta. Izin sebagaimana dimaksud di atas
diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari kepala kepolisian Republik
Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung. Pemberian izin oleh Bank
Indonesia harus dilakukan selambat-lambatnya 14 hari setelah dokumen permintaan
diterima secara lengkap. Permintaan tertulis tersebut harus menyebut nama dan
jabatan polis, jaksa, atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, serta alasan
diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan
keterangan yang diperlukan.
4.
Perkara perdata antara bank dengan nasabahnya
Direksi bank bersangkutan dapat
menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah
bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara
tersebut. Dalam situassi ini bank dapat menginformasikan keadaan keuangan
nasabah yang dalam perkara serta keterangan yang berkaitan dengan perkara
tersebut, tanpa izin dari pimpina Bank Indonesia.
5.
Untuk kepentingan tukar menukar Informasi antar bank
Pasal 44 ayat (1) Undang – undang
Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan menerangkan bahwa dalam tukar menukar
informasi antar bank,direksi dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnyan
kepada pihak bank lain. Tujuan tukar menukar informasi antar bank dimaksudkan
untuk mempelancar dan mengamankan kegiatan usaha bank,antara lain guna mencegah
kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari suatu bank lain. Dengan
demikian,bank dapat menilai tingkat resiko yang dihadapi sebelum melakukan
transaksi dengan nasabah atau bank lain. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan
oleh Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang –
Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia pada Pasal 32. Informasi bank
tersebut dapat berupa :
a. Informasi bank,untuk mengetahui keadaan dan
status bank dalam rangka melakukan kerja sama atau
transaksi
dengan bank.
b. Informasi kredit,untuk mengetahui keadaan dan
status debitor bank guna mencegah penyimpangan
pengelolaan perkreditan.
c. Informasi pasar uang,untuk
mengetahui tingkat suku bunga dan kondisi likuiditas pasar.
Surat keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 27/6/UPB tanggal 25 januari 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
tukar menukar informasi antar bank adalah permintaan pemberian informasi
mengenai keadaan kredit yang diberikan bank kepada debitor tertentu dan keadaan
serta status suatu bank. Informasi antar bank ini hanya dapat dilakukan oleh
anggota direksi atau pejabat yang memperoleh penunjukansebagaimana diatur oleh
ketentuan internal masing – masing.
Dalam tukar menukar informasi antar
bank ini,ada 2 bentuk permintaan informasi antar bank yaitu
1. Permintaan informasi antar bank
yaitu;
Bank dapat meminta informasi kepada
bank lain mengenai keadaan debitor tertentu secara tertulis dari direksi bank
dengan menyebutkan secara jelas tujuan penggunaan informasi yang diminta.
Permintaan informasi mengenai
keadaan kredit dapat dilakukan oleh :
a. Bank umum kepada bank umum.
b. Bank perkreditan rakyat kepada
perkreditan rakyat
Bank yang diminta informasi wajib
memberikan informasi secara tertulis sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Untuk nasabah yang masih tercatat sebagai debitor aktif (nasabah aktif) cukup
dengan menegaskan bahwa nasabah dimaksud adalah debitor yang bersangkutan.
Sedangkan untuk nasabah yang tidak lagi tercatat sebagai debitor aktif (nasabah
tidak aktif) informasinya dapat meliputi :
Data debitor,Data pengurus,Data
anggunan,Data jumlah fasilitas kredit yang diberikan,Data keadaan kolektibilas
terakhir.
Informasi yang diterima oleh bank
peminta,bersifat rahasia dan wajib digunakan sesuai dengan tujuan penggunaan sebagaimana
disebut dalam surat permintaan informasi. Bank yang melanggar akan dikenakan
sanksi administrasi yang dapat menurunkan tingkat kesehatan bank.
6. Atas permintaan,
persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara
tertulis
Bank wajib memberikan keterangan mengenai
simpaan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang
ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut atas dasar permintaan, persetujuan,
atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis.
7.Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia
Apabila nasabah penyimpan telah meninggal
dunia, maka ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan barhak
memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
b.Sanksi Atas Pelanggaran Aturan Rahasia Bank
Bagi pihak
yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank, mereka berhak
untuk mengetahui ini keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat
kesalahan dalam keterangan yang diberikan. Pelanggaran terhadap berbagai aturan
yang berlaku, termasuk kerahasiaan bank, maka akan dikenakan sanksi tertentu
sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang No 10 Tahun 1998.
Pembukaan
rahasia bank yang tidak mengacu kepada ketentuan dari BI berdasarkan pasal 51
ayat 1 Undang-undang tentang perbankan, maka perbuatan tersebut dianggap
sebagai kejahatan, dan diancam dengan ketentuan pidana dan sanksi administratif
sebagaimana diatur dalam pasal 47 dan pasal 47A jo. Pasal 52 yaitu sebagai
berikut :
1. Sanksi Pidana
Menurut sistem Undang-Undang Perbankan, maka sanksi pidana
atas pelanggaran prinsip kerahasiaan bank ini bervariasi. Ada 3 ciri khas dalam
hal sanksi pidana terhadap pelanggaran rahasia bank dalam Undang-Undang
Perbankan ini, sebagaimana juga terhadap sanksi-sanksi pidana lainnya dalam
Undang-Undang Perbankan yang bersangkutan. Ciri khas dari sanksi pidana
terhadap pelanggaran prinsip rahasia bank, yaitu sebagai berikut :
a. Terdapat
ancaman hukuman minimal disamping ancaman hukuman maksimal.
b. Antara ancaman hukuman penjara dengan
hukuman denda bersifat kumulatif, bukan alternatif.
c. Tidak ada korelasi antara berat ringannya
ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda.
Ancaman hukuman pidana terhadap pelaku tindak pidana di
bidang perbankan menurut Undang-Undang Perbankan dapat dibagi dalam 3 kategori
sebagai berikut :
• Di dalam pembukaan rahasia bank untuk kepentingan
peradilan dalam perkara pidana, tanpa membawa perintah atau izin tertulis dari
pimpinan bank indonesia, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi
untuk memberikan keterangan, diancam dengan pidana sekurang-kurangnya 2 tahun
dan paling lama 4 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.10.000.000.000 dan
paling banyak Rp.2.000.000.000.
• Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak
terafiliasi lainnya yang dengan sengaja membuka rahasia bank di mana tidak
melalui prosedur, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan
paling lama 4 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000 dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000.
• Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang
dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau membuka rahasia bank di mana
telah ditempuh prosedur, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2
tahun dan paling lama 7 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
2.
Sanksi Administratif
Bahwa selain ketiga sanksi pidana tersebut, untuk setiap
sanksi pidana, pihak pimpinan Bank Indonesia selain dapat mencabut izin usaha
bank yang bersangkutan, Bank indonesia dapat menetapkan atau menambah sanksi
administratif sebagai berikut :
• Denda Uang.
• Teguran
tertulis.
• Penurunan
tingkat kesehatan bank.
• Larangan
turut serta dalam kegiatan kliring.
• Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik
untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan.
•
Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia.
• Pencantuman
anggota pengurus, pegawai bank, pemegang sahamdalam daftar orang tercela
dibidang perbankan.
EmoticonEmoticon